Robot Kematian

Image
Robot ini Diciptakan Untuk Memimpin Upacara Pemakaman. Ih Ngeri! By : Fransisca Wahyu Indri  Jepang adalah negara yang selalu menghebohkan dunia dengan penemuan dan inovasi terbarunya. Perkembangan yang berkaitan dengan penciptaan teknoogi robot humanoid (robot yang mirip manusia) menjadi andalan bagi negara ini untuk unjuk gigi di era yang serba canggih ini.   Sumber gambar: in.reuters.com Nah, bagaimana jadinya jika upacara pemakaman seseorang dipimpin oleh sebuah robot? Dilansir dari in.reuters.com   inovasi terbaru telah diciptakan oleh sebuah perusahaan di jepang. Softbank berhasil menciptakan sebuah robot humanoid SoftBank “PEPPER” untuk menggantikan peran pelayanan pendeta Budha dalam upacara pemakaman.   Sumber gambar: in.reuters.com Memang sampai saat ini pepper belum digunakan untuk memimpin sebuah upacara pemakaman. Namun Robot “Pepper” di program untuk dapat mampu memukul gong dan membacakan sutra atau ch...

Teh Melati Reska (Restoran Kereta)

 
Photo by pinterest.com

Oleh : Fransisca Indri

Aku sudah bersiap. Merasa ragu, akhirnya kembali ku periksa barang yang harus ku bawa untuk berangkat ke kampung halaman - Yogyakarta-. Beruntung sekali kamis dan jumat adalah tanggal merah. Libur weekend pun menjadi semakin panjang. Kupesan ojek online lewat aplikasi untuk mengantarkan ke stasiun, tidak lama kemudian bang ojek pun datang. Beberapa kali kulihat jam di tangan, waktu menunjukan pukul 12.30 WIB. Tiga puluh menit lagi kereta ku berangkat. Perasaan riang gembira menyelimutiku sepanjang perjalanan menuju stasiun. 
 "Wah mau pulang kampung ya, Mbak?" tanya bang ojek.
"hehehe iya nih Pak, mumpung libur tanggal merah!" sautku.
"Wah asyik dong, Mbak" jawab Bang gojek agak sok akrab, sampai tak terasa motor kami pun berhenti di pintu gerbang stasiun Pekalongan.
 
****
 
Masih semangat. Aku langsung menuju ke tempat check in tiket. Kaki ini berlarian kecil sambil menggeret koper merah jambu menuju kereta yang sudah menunggu. Tiket kereta kumasukan ke dalam kantong jaketku, sesekali ku lihat nomor kursi dan mencocokan dengan nomor yang tertempel di dinding gerbong. Seperti biasa, aku sangat suka duduk dekat jendela. Selain bisa melihat pemandangan di luar jendela, posisi itu juga dekat dengan stopkontak untuk meng-charge handphone atau laptopku. 

Kereta pun berangkat. Gerbong tampak kosong dan udara di gerbong terasa dingin. beberapa saat kemudian aku mulai mengantuk. Entah kenapa tiba-tiba badanku terasa lemas. Kepalaku pusing sekali. Perutku juga mulai tidak enak. Aku merasa aku hanya perlu melanjutkan tidur yang semalam tak nyenyak. Sambil melihat ke arah luar jendela, aku meyakinkan diri bahwa aku dalam keadaan sehat hari itu. Perlahan-lahan mataku mulai terpejam dan aku tak ingat apa-apa lagi.

Hampir setengah perjalanan aku tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena rasa sakit di perutku yang luar biasa hebat, sehingga membuatku harus segera pergi ke toilet. Aku bangun dari tempat dudukku, kepalaku pusing sekali rasanya, pandanganku kabur, sepertinya tekanan darahku turun lagi akibat insomnia atau karena aku hanya sarapan sedikit tadi siang? entah, yang aku tahu perjalanan ke Yogyakarta masih sekitar 2 jam lagi. 

Di toilet pun sama, rasa sakit justru makin parah, mencoba mengeluarkan sesuatu yang tidak bisa dikeluarkan dan memang tidak waktunya keluar. Ternyata yang terjadi bukan karena rasa ingin buang air besar tetapi tamu rutin itu datang. Tanggal nya mendahului perkiraan waktu seharusnya dia datang. Belum banyak yang mengalir, tetapi sesakit itu.  Dismenore. Aku terkadang mengalaminya, apabila hormon tidak stabil. Biasanya aku selalu menyiapkan obat penghilang nyeri haid, tetapi kali ini tidak. Aku berangkat seorang diri dan tidak mengira hal ini terjadi, aku hanya bisa berdoa semoga sakit ini segera hilang. Aku hafal rasa sakit ini biasanya akan hilang 2 jam tanpa obat. Tapi situasinya berbeda aku sedang berada di toilet kereta, di tempat umum dan bukan di kamarku dengan selimut tebal, kasur yang empuk atau kompresan air hangat. Seketika itu juga aku menangis melihat kondisiku saat ini.

Walau nampaknya berlebihan tapi aku yakin beberapa perempuan tahu rasa sakit ini. Perut ini ibarat pakaian basah yang diperas paksa. Bahkan kaki pun tidak kuat untuk berjalan. Seketika aku sadar, jadi seorang perempuan memang harus sehebat ini kah? belum lagi ketika berpikir lebih tentang proses persalinan yang mengharuskan seorang ibu mampu menahan sakit ketika kontraksi. Tidak terbayang sakit yang dirasakan ibu untuk itu, bahkan banyak yang bilang melahirkan adalah seperti mempertaruhkan nyawa, nyatanya memang benar - antara hidup dan mati. Salut untuk banyak perempuan yang sudah lahir di dunia. 

Masih di toilet. Sudah 15 menit, beberapa orang mengetuk ppintu toilet untuk mengantri. Tetapi karena aku tidak kunjung usai, suara mereka berangsur hilang kemungkinan mereka pindah ke gerbong lain untuk mencari toilet terdekat. Hingga situasi dirasa sepi, aku memberanikan diri keluar dari toilet dengan tangan kiriku memegang perut dan tangan kananku berusaha memegang dinding-dinding gerbong agar seimbang menahan kaki yang juga sakit. Aku tidak kuat berjalan lagi, aku merebahkan badan tepat di depan pintu kamar mandi, bersandar pada dinding dinding kereta yang bergetar ditemani suara derit gesekan rel. Gerbong masih sepi, tiada satu pun orang lewat hampir 10 menit. Hingga seorang anak kecil perempuan lewat dan bermain dengan adeknya melintas sesaat, berhenti sejenak, menyaksikan ku yang terkulai lemas, pancaran matanya merasa iba, namun tidak berani mendekat. Dia kemudian beranjak pergi dengan tatapan yang juga cemas. Aku hanya pasrah, menunggu saat saat ini bisa kulewati.

****

Aku masih menangis, hingga seeorang laki-laki seusiaku yang ingin ke toilet melihat aku di depan toilet. Laki-laki itu tidak jadi ke toilet, dia menunduk dan jongkok di sebelahku. 
"Permisi kak, kakak tidak apa? kenapa kak?" tanyanya pelan. (sapaan kakak sering muncul di jaman ini untuk seseorang asing yang baru dijumpai).
"Saya tidak enak badan Kak, perut saya sakit sekali" rintihku pelan.
"Kak maaf, ini dioleskan ke perut saja" kata laki-laki itu sambil mengambil minyak kayu putih di dalam tas selempangnya lalu menuangkannya ke telapak tanganku. 
"Apa perlu aku antar kan ke tempat duduk Kak?" dia menawarkan, aku menolak karena masih tidak sanggup untuk berjalan.
"Boleh saya minta bantuan saja Kak?" pintaku 
"Boleh Kak, gimana Kak?" tanyanya lagi,
Aku meminta tolong padanya untuk membelikan teh panas di restoran kereta api yang letaknya 2 gerbong setelah gerbong ini. Agak jauh, tapi aku sungguh membutuhkan sesuatu yang panas untuk meredakan rasa nyeri ini. Tanpa sungkan aku menceritakan bahwa dompetku ada di tas dan tas ku berada di tempat duduk, dan tanpa berpikir panjang dia langsung bergegas menmbelikanku teh panas, dan menyerahkan minyak kayu putih yang di bawanya kepadaku.
"Ini Kak, dipakai saja buat dioleskan lagi." pesannya sebelum pergi.

Beberapa saat kemudian laki-laki itu kembali membawakan teh melati Reska yang hangat dan membukakan cupnya untukku.
"Awas panas kak, ditiup dulu." ucapnya
"dia membantu memegang gelas itu, dan aku perlahan-lahan menyeruput teh panas itu. Beberapa saat dia masih menemaniku disana. Tanpa kata apa-apa, hanya hening dan rasa empati yang mendalam tersirat dari tatapan matanya. Aku masih fokus pada rasa sakitku yang perlahan-lahan mulai menghilang. Aku mulai bisa duduk dengan baik dan tegak.

***

Kereta tiba di Stasiun Solo. 
"Kak saya sudah sampai, kakak sudah tidak apa-apa kan? ini saya sudah mau turun." ucapnya masih tak tega.
"Nggak apa apa kok kak, sudah mendingan, terimakasih banyak ya kak, ini teh nya saya bayar , saya ambil dompet dulu ya"
"tidak perlu Kak, dihabiskan saja, cepat sembuh ya Kak saya pamit." laki-laki itu pergi dan memberikan senyum perkenalan .

Seketika aku sadar, anak kecil tadi kembali bersama ibunya. Ibunya menanyakan keadaanku. Aku rasa anak kecil ini berusaha meyakinkan ibunya untuk segera menengok seorang perempuan yang terkapar di depan toilet. Anak cerdas. Akhirnya aku kembali ke tempat duduk diantar oleh ibu si anak itu. 

Namun dalam sisa waktu perjalanan ke Yogyakarta aku terpikirkan laki-laki itu. Aku belum sempat menanyakan nama laki-laki itu, dan minyak kayu putihnya masih aku genggam, aku belum juga membayar teh melati Reska yang dibawakannya. Satu yang aku tahu  - dia laki-laki Solo. Hanya itu. Tapi pengalaman ini membuatku menyadari bahwa perbuatan laki-laki tanpa nama dan anak kecil itu membuktikan bahwa masih ada orang baik di dunia yang penuh sandiwara ini. Tak perlu dia terlihat, tak perlu diucapkan, cukup lakukan, dan itu akan terkenang.  Terima kasih banyak orang baik semoga banyak kalian yang membaca ini juga menjadi spesies manusia satu ini .



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Robot Kematian

Hujan di Luar Jendela