 |
Photo by pinterest.com |
Oleh : Fransisca Indri
Hujan begitu deras,
Liana masih berdiri di dekat jendela ruang kelas XII A di lantai dua.
Teman-temannya sudah meninggalkan kelas 15 menit yang lalu tepatnya
sebelum hujan turun. Namun Liana masih disitu. Diam terpaku. Mulutnya
kadang digigit, seperti menahan sesuatu. Liana tetap diam dengan tatapan
kosong. Lambat laun air matanya menetes, muncul dari sela disudut kedua
matanya. Liana ingat sesuatu.
Dua tahun lalu dia berjumpa dengan Semesta seorang laki-laki jutek, menyebalkan dan sok
keren yang adalah teman sekelasnya. Tapi memang tidak dapat dipungkiri
Semesta memiliki paras diatas rata-rata. Ketika
pertama melihatnya, Liana memang sudah tertarik padanya. Tidak hanya
Liana, tapi teman-teman perempuan bahkan kakak kelas juga tertarik
padanya. Setiap hari Semesta menjadi buah bibir diantara para perempuan
remaja di sekolah itu. Bahkan setiap pagi selalu ada kiriman surat,
bunga dan cokelat yang tergeletak di atas meja Semesta. Anehnya,
Semesta tidak menghiraukan itu semua.
Melihat hal itu Liana tidak mau kalah. Meskipun terkenal tomboy
dan jago karate, untuk urusan cinta Liana 380 derajat bisa berubah
menjadi sosok yang begitu feminin. Pulang sekolah Liana pergi ke
perpustakaan sekolah. Liana bergegas menuju bagian koleksi buku sastra,
dicarinya buku kumpulan puisi cinta milik Kahlil Gibran. Siapa tahu,
setelah membaca buku tersebut Liana bisa membuat surat cinta yang begitu
romantis untuk Semesta. Ketika sibuk mencari-cari, tak disangka Semesta
juga ada disana. Semesta duduk di bagian paling pojok. Entah hanya
halusinasi atau sekedar angan-angan palsu bak fatamorgana, sekejap
dilihatnya mata indah itu memperhatikan dia. Liana salah tingkah,
rambutnya dibenahi sesekali, dan mulai tersenyum malu sendiri.
Lamunannya tiba-tiba
terpecah saat seseorang menabrak pundaknya dengan sengaja. Liana kesal,
tanpa dilihatnya siapa orang itu, Liana yang memang jago karate dengan
sigap mencengkram tangan orang itu dengan erat. "Maksud loe apa?"
ucap Liana pelan. Orang itu mengangkat kepalanya. Liana terkejut ketika
orang yang tangannya dia cengkram adalah Semesta. Liana gelagapan.
Bingung. Bagaimana bisa Semesta denggan cepat pindah dari pojok ruangan
ke posisinya saat ini. "Aneh loe ya, ni jalan bukan punya loe
aja. Pakai acara melamun dan senyum-senyum sendiri lagi! dasar cewek
aneh!" balas Semesta, sambil menempatkan punggung tangannya diatas dahi
Liana. "Ih, apaan sih loe pegan-pegang dahi gue!" protes Liana. "Dahi loe panasnya sama kaya ketiak gue, pantesan!" ucapnya lalu pergi.
Sesampainya di rumah,
Liana masih berpikir keras tentang kejadian tadi. berkali-kali
ditepuknya kedua pipinya dengan buku puisi cinta yang dipinjamnya tadi,
tanda tidak percaya. "Itu Semesta kan?" ucapnya berkali-kali. Lalu
tiba-tiba diletakannya begitu saja buku itu. "Hah, ngapain gue bikin
surat cinta buat orang kaya gitu!" suaranya keras.
Keesokan paginya seperti
biasa, banyak sekali kiriman surat yang tergeletak diatas meja Semesta.
Liana mulai bertanya-tanya dikemanakan bunga dan surat itu. Karena rasa
ingin tahunya yang begitu tinggi, diam-diam sepulang sekolah Liana
membuntuti Semesta. Semesta menaiki bus kota, lalu Semesta meminta sopir
bus menurunkan dia di suatu tempat. Liana agaknya merasa sedikit jijik.
Semesta turun di daerah yang begitu kumuh, yang sepertinya tidak
mungkin apabila Semesta tinggal di tempat seperti ini. Liana masih
mengikutinya. Dengan mata kepalanya sendiri Liana melihat Semesta
membagikan cokelat yang ia punya kepada gerombolan anak kecil disana.
Semesta terlihat begitu akrab dengan mereka. Bahkan seorang anak tampak
manja menggandeng tangannya. Seorang anak lain memeluknya dari belakang.
Dan beberapa duduk manis mendengarkan Semesta berbicara.
"Kakak cantik, sini
ikutan dari tadi ngintipin apa sih?" tegur seorang anak sambil jari
telunjuknya mengarah kepada Liana. Liana kaget, gagap, tak bisa berkata
apa-apa. "Aa..anuu, itu,... apa sih anu lho". Semesta menoleh ke arah
Liana, dia tersenyum. Ditariknya dengan lembut tangan Liana. Kemudian
Semesta mengenalkannya kepada anak-anak disitu. Liana mulai
bertanya-tanya tentang sikap manis Semesta.
Sore pun tiba, tak
terasa waktu berlalu begitu cepat. Semesta dan Liana kemudian berpamitan
pada anak-anak. Kemudian mereka pun pulang bersama. Dalam perjalanan
banyak sekali pertanyaan yang ingin disampaikan Liana kepada Semesta.
Sayangnya, Liana bingung memulainya darimana. Hingga akhirnya Semesta
pun memulai, katanya "Kamu ngikutin aku ya?" Liana ingin menjawab, namun
Semesta melanjutkan "Hahaha, mereka penyemangatku selama ini, hanya
dengan mereka aku dapat melihat rasa syukur yang sesungguhnya, kamu
lihat ekspresi mereka bukan? ketika aku kasih cokelat mereka begitu
bahagia sekali. Kadang aku malah ingin seperti mereka, bahagia dalam
keterbatasan, oiya satu lagi, kamu tau ? aku cuek dan jutek kepada
banyak cewek karna aku nggak mau nantinya nyakitin mereka." Liana
masih terdiam, Semesta melanjutkan "Hahahaha, sudahlah anggap saja tadi
hanya angin berlalu. Oiya rumahmu dimana ? biar kuantar." Liana masih
terdiam dan berpikir "Sudah jangan dipikir, nanti malah panas terus
konslet kaya kemarin di perpus" goda Semesta sambil menepuk pipi Liana
pelan.
Sesampainya di rumah
Liana masih terheran-heran, ternyata Semesta saat di luar berbeda sekali
dengan Semesta di sekolah yang terkesan cuek, jutek dan sombong.
Semesta memiliki hati yang lembut, bahkan lebih lembut dari hati Liana
sendiri sebagai perempuan. Namun Liana tidak mau ambil pusing. Semenjak
itu Liana dan Semesta menjadi akrab dan dekat. Mereka sering menyematkan
waktu menjenguk anak-anak di daerah kumuh tersebut untuk sekedar
berbagi keceriaan bersama mereka. Tak jarang mereka sering pergi berdua
untuk mengerjakan tugas atau sekedar jalan-jalan.
Lambat laun timbul
gejolak dalam hati Liana. Bahkan sampai saat ini Liana sama sekali tidak
tahu menahu perasaan Semesta kepadanya. Liana hanya menunggu dan
menunggu, namun Semesta masih aja sama. Seandainya Semesta hanya
bermain-main, mengapa Semesta menggandengnya disaat hujan, menyentuh
pipinya disaat cemberut, menggodanya disaat ia marah. Seandainya Semesta
hanya ingin bersenang-senang, mengapa hanya pada Liana seorang,
sedangkan kepada permpua lain di sekolah dia begitu cuek. Seandainya
saja Semesta tidak menaruh hati padanya, Mengapa Semesta mau
mengantarnya pulang setiap pulang sekolah, menemaninya belajar di
perpustakaan, dan memberikan jaketnya untuk dipakai Liana saat hujan.
Hingga siang itu, di
lantai 2 kelas XI B, Liana bertekad untuk menanyakan kepastian tentang
hubungan mereka selama ini. Hujan mengguyur pekarangan sekolah. Liana
masih diam di bangkunya. Semesta mengajaknya pulang, katanya "Ayo
pulang, nanti ketinggalan bus ini hujan deras banget!" ucap Semesta.
Liana masih terdiam. Sepertinya Semesta tahu tentang perasaan Liana saat
itu. Disentuhnya pipi Liana dengan hangat "Kamu kenapa?" Semesta
berusaha tenang. Liana mulai menangis dan berkata "Sampai kapan Ta, aku
harus nunggu terus? Kalau emang kamu nggak sayang sama aku, mending kamu nggak perlu perhatian gini ke aku. Aku capek Ta!"
Semesta masih terdaim. Lalu pelan-pelan Semesta melepaskan dekapan tangannya di kedua pipi Liana. "Maaf, Na, aku cuma nggak pingin nyakitin kamu. Aku nggak akan bisa bahagiain kamu Na." jawab Semesta.
"Kenapa? maksudmu apa? justru dengan bersikap kaya gini kamu nyakitin aku Ta! mendingan kamu pergi aja, nggak
perlu peduliin aku lagi kalo emang kamu emang merasa cowok!" Bentak
Liana. Semesta pun mundur perlahan, meninggalkan Liana seorang diri.
Semesta pergi.
*****
Keesokan harinya Semesta
tidak masuk sekolah, Liana mulai cemas. Liana menyangka Semesta sungguh
tersinggung dengan ucapannya kemarin. Liana pergi ke tempat dimana
biasanya Semesta bermain bersama anak-anak. Namun tempat itu sepi tak
ada orang sama sekali. Liana mulai bingung dan panik. Kemudian telepon
genggam Liana berdering. Panggilan dari ketua kelas XI B.
"Ada apa ya? kok tumben telepon?"
"Halo Liana, kamu yang sabar ya Li."
"Kenapa?"
"Semesta Li, Semesta
dipanggil Tuhan dia pendarahan nggak bisa berhenti kemarin dia
kecelakaan waktu mau nyebrang jalan. Nah, ternyata dia punya penyakit
hemofilia. darahnya nggak bisa berhenti keluar Li!"
"........................................................" Liana terdiam.
*****
Hujan siang hari ini,
mengingatkan Liana pada hal yang paling ia rindukan. Liana merindukan
saat dimana Semesta menggandeng tangannya, menyentuh pipinya dan berkata
"Kamu kenapa?" Sendainya saja saat itu Liana tak menyuruhnya pergi
mungkin umur Semesta jauh lebih panjang. Dengan begitu Liana masih bisa
lebih lama bersama Semesta. Namun nyatanya, takdir berkata lain. Saat
ini Liana hanya bisa titip rindu lewat rintikan hujan di siang hari,
berharap Semesta bisa mendengarnya disana.
"Semesta kau baik saja
kan?" suaranya lirih. kemudian ditulisnya sekata penuh makna di jendela
sekolah yang berembun "SEMESTA" dengan jari telunjuknya.
Comments
Post a Comment