 |
photo by pinterest.com |
Oleh : Fransisca Indri
"Seperti
membuka mata setelah terpejam semalaman atau berada dalam pesawat yang
membawamu terbang dari kejauhan, aku kembali menulis ini, mengungkapkan
asa agar tak sia-sia, berharap semoga besok tidak lagi sama sampai
lusa, dan seterusnya."
Hari
itu tidak sama, aku pergi dengan begitu percaya diri menggenggam sejuta
mimpi seperti pendekar yang siap menantang musuh yang menghadang. Aku
punya senjata untuk bertempur di medan perang. Aku ingin perlihatkan
pada dunia siapa aku sesungguhnya sebab tiada lagi rasa takut yang
kurasa. Ya, diriku memang selalu bisa diandalkan. Ketika banyak dari
pendekar berguguran karena keputusasaan, tidak denganku yang tetap
melangkah tanpa melihat ke belakang. Sesekali mereka menanyakan
keberanianku "Apa kamu yakin dengan semua ini?" dengan tegas aku
menjawabnya "Aku sangat yakin dengan diriku." hingga kisah itu terjadi.
Darimana kita mulai cerita ini? baik, kita hanya perlu memulai dengan
***
-November, 2019-
"Echa, bekal makan malammu sudah kamu masukin atau belum? jangan sampai ada yang tertinggal." ibuku mengingatkan. Hari itu aku pergi meninggalkan kampung halamanku untuk mengadu nasib di kota Metropolitan-Jakarta. Bermodal ijazah Sarjana aku begitu yakin untuk membuat keputusan besar dalam hidupku. Ya, pergi ke Jakarta untuk pertama kali dan seorang diri adalah hal ternekad yang tidak pernah kubayangkan untuk kuputuskan secepat ini. Selama ini aku mengenali diriku adalah tipe orang yang terlalu banyak berpikir tetapi entah mengapa kali ini berbeda sampai hari itu tiba, aku masih berpikir bahwa ini semua adalah mimpi.
Aku mempercepat langkah kakiku sebab layanan informasi di Stasiun Kota Baru mengumumkan bahwa keretaku akan segera berangkat. Kulambaikan tangan pada Ayah Ibu yang nampak sedih melihat kepergianku. Tak lupa pula, seseorang yang berdiri disamping kedua orang tuaku yang melemparkan senyuman tak rela kepadaku. Seseorang dengan mata bulan sabit dan kumis tipisnya. Ah, sungguh aku tidak bisa melihat senyum itu terlalu lama.
-Di kereta-
Kereta api mulai melaju perlahan meninggalkan Stasiun. Aku menghela napas, kupandang langit di luar kaca jendela. Sendu. Sepertinya akan hujan. Sial, suasana bahkan mendukung perpisahan itu. Sesungguhnya aku tidak kenal siapapun di Jakarta. Saudara pun tak ada yang tinggal disana. Benar-benar modal nekad dan ambisi saja. Aku tidak bisa hanya berdiam diri setelah menyelesaikan studi ku. Ketika teman-temanku masih ingin menikmati masa-masa kebebasan aku sudah diterima di salah satu perusahan yang bergerak di bidang kreatif desain di Jakarta.
"Permisi, 17 D Gerbong 1 ya, Kak?"
..........
"Halo, permisi"
"Ha? Iya ada apa Mas?" Lamunanku pecah.
"Ini 17 D Gerbong 1 ya Kak?"
"Iya, tempat duduk punya Mas ya?"
"Iya tapi nggak apa apa, Kakak duduk disebelah mana? biar kita tukar posisi aja."
"Saya di 17C, sebelahan doang kok Mas. Nggak papa saya geser biar Mas dekat jendela"
"Nggak papa Mbak kayanya Mbak juga dah PW."
"Nggak papa Mas."
Percakapan karena kesungkanan itu berlangsung agak lama, hingga....
"Ekhem,.." Tatapan kami kompak mengarah ke Bapak-bapak yang duduk persis di seberang.
"Baik Aku yang dekat jendela Mas." Aku mengalah, oh maksudku aku yang menang.
(bersambung)
Comments
Post a Comment