Robot Kematian

Image
Robot ini Diciptakan Untuk Memimpin Upacara Pemakaman. Ih Ngeri! By : Fransisca Wahyu Indri  Jepang adalah negara yang selalu menghebohkan dunia dengan penemuan dan inovasi terbarunya. Perkembangan yang berkaitan dengan penciptaan teknoogi robot humanoid (robot yang mirip manusia) menjadi andalan bagi negara ini untuk unjuk gigi di era yang serba canggih ini.   Sumber gambar: in.reuters.com Nah, bagaimana jadinya jika upacara pemakaman seseorang dipimpin oleh sebuah robot? Dilansir dari in.reuters.com   inovasi terbaru telah diciptakan oleh sebuah perusahaan di jepang. Softbank berhasil menciptakan sebuah robot humanoid SoftBank “PEPPER” untuk menggantikan peran pelayanan pendeta Budha dalam upacara pemakaman.   Sumber gambar: in.reuters.com Memang sampai saat ini pepper belum digunakan untuk memimpin sebuah upacara pemakaman. Namun Robot “Pepper” di program untuk dapat mampu memukul gong dan membacakan sutra atau ch...

Mengapa, Ibu?

 
Photo by pinterest.com
Oleh: Fransisca Indri

Aku masih berdiri di depan sebuah restoran mewah, sembari menengok kanan kiri berharap seseorang datang. Hampir satu jam aku disini, sampai-sampai pelayan restoran mewah tersebut menghampiriku dan menanyakan kepentinganku. Jelas saja pelayan itu mendatangiku, tampilanku tidak seperti pengunjung restoran dan lebih tepatnya aku adalah orang asing di kota ini. Pakaian yang aku kenakan hanya kaos oblong putih polos, dan celana jeans yang bermodel robek di bagian lutut. Dengan rambut yang ku kuncir kuda dan sepatuku yang sudah aus, mungkin aku lebih mirip dengan preman atau anak jalanan.

Ini kali pertama aku datang ke kota ini. Aku begitu kagum ketika melihat begitu banyak bangunan yang menjulang tinggi. Gedung-gedung itu berdiri tegak menantang langit. Begitupun lampu-lampu kota yang berkelap-kelip bak kunang-kunang di sawah depan rumah kakek. Indah sekali. Rasa kagumku kemudian berlanjut ketika taksi yang aku tumpangi menurunkanku di depan restoran dimana saat ini aku berada. Sebelumnya aku mengira restoran ini adalah tempat wisata, ternyata tempat itu adalah tempat makan mewah yang diperuntukan untuk orang-orang berduit dan bermobil. Aku diturunkan bukan karena aku tidak membayar argonya, melainkan karena Ibuku menyuruhku untuk menunggunya di depan restoran ini. 

***

Aku dan ibuku sudah belasan tahun berpisah. Semenjak kematian ayah, ibuku yang masih muda tidak bisa berdiam diri di rumah tanpa pemasukan uang sedikit pun. Pada akhirnya ibuku memberanikan diri untuk mengadu nasib di kota ini dan meninggalkanku di desa bersama kakek dan nenekku. Sekarang usiaku sudah menginjak 18 tahun, aku datang ke kota ini tidak hanya ingin bertemu ibu saja, melainkan aku disuruhnya untuk melanjutkan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi. Aku paham maksud ibuku, mungkin dia tak ingin anak gadisnya ini harus mengadu nasib seorang diri tanpa bekal apapun seperti yang dia alami dulu. 

Aku masih menunggunya. Aku pikir Ibu sedang sibuk mencuci piring dan membersihkan meja-meja di restoran ini. Sebagai pelayan di restoran mewah, mungkin harus bekerja ekstra keras guna memuaskan para pengunjung yang berduit itu. Selagi aku menunggu, tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna merah berhenti tepat di depanku. Aku kebingungan. Seorang anak gadis keluar dengan gaun berwarna pink, gadis itu tampak begitu manis. Tak lama kemudian keluarlah gadis lain yang serupa dengannya. Gaun yang dikenakannya pun sama dengan warna yang senada. Ternyata mereka gadis kembar. Aku tersenyum melihat tingkah kedua gadis itu. mereka bertengkar kecil karena si kembar yang satu menginjak sepatu si kembar lainnya.
"Kalian ini, dimana-mana ribut, manis sedikit dong dengan kakak di depanmu!" ucap seseorang dari dalam mobil.
Sepertinya aku kenal suara itu, aku menundukan kepala berusaha melihat siapa di balik kaca hitam mobil itu. Aku terkejut ketika melihat seorang wanita cantik yang sedang duduk di dalam mobil itu adalah ibuku. Dia tampak begitu mempesona dengan dandanannya yang glamor dan anting-anting yang panjang berkilauan. Kelihatannya semua yang dikenakan adalah barang-barang mahal. Aku sedikit heran, aku tak habis pikir dia adalah ibuku.

Ibuku keluar dari mobil bersama dengan seorang lelaki paruh baya yang tampak gagah dengan jas hitam yang dikenakannya. Aku masih tercengang . aku bingung tak karuan. Hingga kedua gadis kembar tadi menarik baju lelaki itu dan memanggilnya dengan sebutan Ayah. Ibuku segera menarikku agak menjauh dari mereka. Aku hanya diam saja. Lalu Ibuku berbisik "Mulai sekarang panggil ibu tante. Ikuti kata Ibu, kalau kamu sayang Ibu." Aku kaget dan sedikit bingung serta mengiyakan perkatannya.

***

Tak disangka aku diajaknya makan di restoran mewah yang sebelumnya aku kira adalah sebuah tempat wisata. Menakjubkan sekali disana, aku seperti putri yang dijamu dengan berbagai macam makanan enak yang tentunya harganya juga mahal. Aku duduk sembari menimati sup asparagus dan cola yang ada di depanku. Ibuku masih sibuk dengan kedua gadis kembarnya. Sedangkan lelaki paruh baya itu mulai mengajakku mengobrol. Ternyata dia adalah suami Ibuku. Dia begitu ramah. Dari obrolan itu dia menjelaskan bahwa hari ini adalah hari jadi pernikahannya yang ke 11. Berarti sudah lama ibu bersama dengan lelaki ini, dan tidak memberitahukannya kepadaku. Aku berusaha tenang. Sebab aku nyaman dengan suasana keluarga kecil ini. Mereka begitu sangat akrab, dan harmonis. 

Ayah tiriku bernama Hardi, dan khusus untuk diriku nama itu diganti dengan sebutan "Om" didepannya. Om Hardi adalah seorang direktur utama salah satu perusahaan besar di Indonesia. Dia cukup berwibawa. Dia orang yang baik, loyal dan menghargai orang lain. bagaimana tidak? Dia selalu tersenyum ketika mengobrol dengan seseorang. Mungkin itu yang membuat ibuku jatuh cinta kepada laki-laki ini. Ibuku juga terlihat sangat bahagia dengan keluarga barunya, wajahnya terlihat lebih muda dari usianya . Senyumnya terlihat bahagia. Matanya yang dulu berisikan penderitaan, sekarang jauh lebih bersinar. Apalagi mereka dikaruniai dua orang gadis kembar yang begitu cantik, Eva dan Eve. Kedua adik tiriku juga sangat menyenangkan. Aku diajak bermain gunting-batu-kertas di tengah-tengah makan malam. Mereka mudah akrab denganku. Bisa jadi keakraban itu dengan mudah muncul karena kami lahir dari rahim yang sama. Entah.

Seusai makan malam, Aku diajak pulang ke rumah mereka. Ya, mulai sekarang aku akan tinggal bersama keluarga kecil ini. Aku akan tinggal bersama Ibuku dan keluarga tiriku. Mungkin tidak. Aku bukan bagian dari mereka. Perasaanku kacau seketika, kala mengingat panggilan baru bagi ibuku, yang harus kubiasakan mulai saat ini dengan sebutan "Tante". Aku akan memanggil Ibuku sendiri dengan sebutan tante. Bahkan aku harus ikut bersandiwara dengan berpura-pura menjadi anak yatim-piatu dari desa yang ditinggal kedua orang tuanya. Jujur dalam hati yang terdalam, ingin rasanya menjelaskan kepada Eva dan Eve bahwa aku adalah kakak mereka, kakak dari Ibu yang sama. Aku rasa Om Hardi yang baik itu juga akan mengerti aku dan memaafkan ibu. Ah, sudahlah. Aku cukup bahagia dengan keadaan ini.

****

"Tante, ini titipan dari Nenek." Ucapku pada ibu. Ibuku mengambil titipan itu dan mengusap lembut rambutku. Aku merasa tenang bercampur haru dengan perlakuan itu. tangan lembut itu seakan mengisyaratkan kasih sayangnya padaku. Tak lama kemudian ibu membuka titipan berupa amplop berwarna cokelat yang telah aku berikan. Sekilas kulihat bahwa itu adalah fotocopi Kartu Keluarga yang di dalamnya berisikan namaku.
"Tante, akan memindahkan namamu di kartu keluarga tante sebagai anak Tante dan Om." Bisiknya padaku.
Entah apa yang aku rasakan saat itu. ucapannya begitu manis dan melegakan tapi tidak membuatku senang. Apakah hanya sebatas anak angkat? Bukankah aku ini anaknya? Om Hardi tiba-tiba merangkulku. Tangannya begitu hangat. Dia menerima kehadiranku disini.
"Kamu akan menjadi anak angkat kami, tidak perlu cemas kami akan menyanyangimu seperti anak kami sendiri." Jelas lelaki paruh baya itu.
Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Aku memang akan menjadi anak mereka, namun aku tidak diakui sebagai anak kandung dari ibuku sendiri. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kubiarkan air mataku jatuh menetes membasahi pipiku. Aku menangis. Tak kusangka tiba-tiba sepasang tangan kecil mengusap air mata di pipiku. itu tangan Eva.
"Sudah kakak jangan sedih, nanti kami ajak bermain di taman depan rumah. Disana banyak sekali kupu-kupu. Kakak harus melihatnya!" cerita Eve bersemangat. Aku hanya tersenyum memaksakan kebahagiaanku.

****

Aku sungguh menyayangi Ibu. Tak pernah sedikit pun aku terpikir bisa bertemu dengannya dan menjadi salah satu bagian dari keluarga bahagia ini. Namun salahkah aku bila aku sedikit berontak, dan mengungkapkan rasa sayang yang teramat besar ini padanya? Ataukah itu hanya akan menghancurkan semua yang telah indah tercipta diantara keluarga ini? Pikiranku berputar cepat, membayangkan suatu hal yang terjadi jika aku menuruti egoku. Siapapun tidak bisa menjamin dengan aku berkata terus terang, semua akan tetap seperti ini. Sungguh, dalam hati ingin sekali aku berkata pada ibu 

"Ibu, sampai kapan kita harus bersandiwara? Sampai kapan aku harus memendam mimpiku untuk bisa bersandar di pelukanmu? Atau mungkin inilah cara agar kita berdua bahagia, aku menyayangimu Ibu, tapi mengapa ini begitu menyakitkan?" bisikku dalam batin.

Sejenak suasana di mobil terasa hening. Aku tak menjawab sepatah kata pun. Kepalaku terunduk layu dan mulutku bungkam membisu. Tidak ada seorang pun yang berada di mobil itu tahu perasaanku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu. 

Tunggu, Ibu menolehkan kepalanya padaku, terlihat linangan air mata di sudut mata indah itu. Sepertinya dia tahu, tatapannya begitu dalam dan lembut membawa iba. Seakan-akan tatapan itu berbicara "Tunggulah saatnya, Nak. Tetaplah disini bersama Ibu". Aku hanya menganggukan kepala mencoba menguatkan diri. Ya, mungkin sementara akan seperti ini tegasku pada diri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Robot Kematian

Hujan di Luar Jendela

Teh Melati Reska (Restoran Kereta)