 |
Photo by pinterest.com |
Oleh: Fransisca Indri
Aku masih berdiri di depan sebuah restoran mewah, sembari menengok
kanan kiri berharap seseorang datang. Hampir satu jam aku disini,
sampai-sampai pelayan restoran mewah tersebut menghampiriku dan
menanyakan kepentinganku. Jelas saja pelayan itu mendatangiku,
tampilanku tidak seperti pengunjung restoran dan lebih tepatnya aku
adalah orang asing di kota ini. Pakaian yang aku kenakan hanya kaos
oblong putih polos, dan celana jeans yang bermodel robek di bagian
lutut. Dengan rambut yang ku kuncir kuda dan sepatuku yang sudah aus,
mungkin aku lebih mirip dengan preman atau anak jalanan.
Ini kali pertama aku datang ke kota ini. Aku begitu kagum ketika
melihat begitu banyak bangunan yang menjulang tinggi. Gedung-gedung itu
berdiri tegak menantang langit. Begitupun lampu-lampu kota yang
berkelap-kelip bak kunang-kunang di sawah depan rumah kakek. Indah
sekali. Rasa kagumku kemudian berlanjut ketika taksi yang aku tumpangi
menurunkanku di depan restoran dimana saat ini aku berada. Sebelumnya
aku mengira restoran ini adalah tempat wisata, ternyata tempat itu
adalah tempat makan mewah yang diperuntukan untuk orang-orang berduit
dan bermobil. Aku diturunkan bukan karena aku tidak membayar argonya,
melainkan karena Ibuku menyuruhku untuk menunggunya di depan restoran
ini.
***
Aku dan ibuku sudah belasan tahun berpisah. Semenjak kematian ayah,
ibuku yang masih muda tidak bisa berdiam diri di rumah tanpa pemasukan
uang sedikit pun. Pada akhirnya ibuku memberanikan diri untuk mengadu
nasib di kota ini dan meninggalkanku di desa bersama kakek dan nenekku.
Sekarang usiaku sudah menginjak 18 tahun, aku datang ke kota ini tidak
hanya ingin bertemu ibu saja, melainkan aku disuruhnya untuk melanjutkan
sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi. Aku paham maksud ibuku, mungkin
dia tak ingin anak gadisnya ini harus mengadu nasib seorang diri tanpa
bekal apapun seperti yang dia alami dulu.
Aku masih menunggunya. Aku pikir Ibu sedang sibuk mencuci piring dan
membersihkan meja-meja di restoran ini. Sebagai pelayan di restoran
mewah, mungkin harus bekerja ekstra keras guna memuaskan para pengunjung
yang berduit itu. Selagi aku menunggu, tiba-tiba sebuah mobil mewah
berwarna merah berhenti tepat di depanku. Aku kebingungan. Seorang anak
gadis keluar dengan gaun berwarna pink, gadis itu tampak begitu manis.
Tak lama kemudian keluarlah gadis lain yang serupa dengannya. Gaun yang
dikenakannya pun sama dengan warna yang senada. Ternyata mereka gadis
kembar. Aku tersenyum melihat tingkah kedua gadis itu. mereka bertengkar
kecil karena si kembar yang satu menginjak sepatu si kembar lainnya.
"Kalian ini, dimana-mana ribut, manis sedikit dong dengan kakak di depanmu!" ucap seseorang dari dalam mobil.
Sepertinya aku kenal suara itu, aku menundukan kepala berusaha
melihat siapa di balik kaca hitam mobil itu. Aku terkejut ketika melihat
seorang wanita cantik yang sedang duduk di dalam mobil itu adalah
ibuku. Dia tampak begitu mempesona dengan dandanannya yang glamor dan
anting-anting yang panjang berkilauan. Kelihatannya semua yang dikenakan
adalah barang-barang mahal. Aku sedikit heran, aku tak habis pikir dia
adalah ibuku.
Ibuku keluar dari mobil bersama dengan seorang lelaki paruh baya yang
tampak gagah dengan jas hitam yang dikenakannya. Aku masih tercengang .
aku bingung tak karuan. Hingga kedua gadis kembar tadi menarik baju
lelaki itu dan memanggilnya dengan sebutan Ayah. Ibuku segera menarikku
agak menjauh dari mereka. Aku hanya diam saja. Lalu Ibuku berbisik
"Mulai sekarang panggil ibu tante. Ikuti kata Ibu, kalau kamu sayang
Ibu." Aku kaget dan sedikit bingung serta mengiyakan perkatannya.
***
Tak disangka aku diajaknya makan di restoran mewah yang sebelumnya
aku kira adalah sebuah tempat wisata. Menakjubkan sekali disana, aku
seperti putri yang dijamu dengan berbagai macam makanan enak yang
tentunya harganya juga mahal. Aku duduk sembari menimati sup asparagus
dan cola yang ada di depanku. Ibuku masih sibuk dengan kedua gadis
kembarnya. Sedangkan lelaki paruh baya itu mulai mengajakku mengobrol.
Ternyata dia adalah suami Ibuku. Dia begitu ramah. Dari obrolan itu dia
menjelaskan bahwa hari ini adalah hari jadi pernikahannya yang ke 11.
Berarti sudah lama ibu bersama dengan lelaki ini, dan tidak
memberitahukannya kepadaku. Aku berusaha tenang. Sebab aku nyaman dengan
suasana keluarga kecil ini. Mereka begitu sangat akrab, dan harmonis.
Ayah tiriku bernama Hardi, dan khusus untuk diriku nama itu diganti
dengan sebutan "Om" didepannya. Om Hardi adalah seorang direktur utama
salah satu perusahaan besar di Indonesia. Dia cukup berwibawa. Dia orang
yang baik, loyal dan menghargai orang lain. bagaimana tidak? Dia selalu
tersenyum ketika mengobrol dengan seseorang. Mungkin itu yang membuat
ibuku jatuh cinta kepada laki-laki ini. Ibuku juga terlihat sangat
bahagia dengan keluarga barunya, wajahnya terlihat lebih muda dari
usianya . Senyumnya terlihat bahagia. Matanya yang dulu berisikan
penderitaan, sekarang jauh lebih bersinar. Apalagi mereka dikaruniai dua
orang gadis kembar yang begitu cantik, Eva dan Eve. Kedua adik tiriku
juga sangat menyenangkan. Aku diajak bermain gunting-batu-kertas di
tengah-tengah makan malam. Mereka mudah akrab denganku. Bisa jadi
keakraban itu dengan mudah muncul karena kami lahir dari rahim yang
sama. Entah.
Seusai makan malam, Aku diajak pulang ke rumah mereka. Ya, mulai
sekarang aku akan tinggal bersama keluarga kecil ini. Aku akan tinggal
bersama Ibuku dan keluarga tiriku. Mungkin tidak. Aku bukan bagian dari
mereka. Perasaanku kacau seketika, kala mengingat panggilan baru bagi
ibuku, yang harus kubiasakan mulai saat ini dengan sebutan "Tante". Aku
akan memanggil Ibuku sendiri dengan sebutan tante. Bahkan aku harus ikut
bersandiwara dengan berpura-pura menjadi anak yatim-piatu dari desa
yang ditinggal kedua orang tuanya. Jujur dalam hati yang terdalam, ingin
rasanya menjelaskan kepada Eva dan Eve bahwa aku adalah kakak mereka,
kakak dari Ibu yang sama. Aku rasa Om Hardi yang baik itu juga akan
mengerti aku dan memaafkan ibu. Ah, sudahlah. Aku cukup bahagia dengan
keadaan ini.
****
"Tante, ini titipan dari Nenek." Ucapku pada ibu. Ibuku mengambil
titipan itu dan mengusap lembut rambutku. Aku merasa tenang bercampur
haru dengan perlakuan itu. tangan lembut itu seakan mengisyaratkan kasih
sayangnya padaku. Tak lama kemudian ibu membuka titipan berupa amplop
berwarna cokelat yang telah aku berikan. Sekilas kulihat bahwa itu
adalah fotocopi Kartu Keluarga yang di dalamnya berisikan namaku.
"Tante, akan memindahkan namamu di kartu keluarga tante sebagai anak Tante dan Om." Bisiknya padaku.
Entah apa yang aku rasakan saat itu. ucapannya begitu manis dan
melegakan tapi tidak membuatku senang. Apakah hanya sebatas anak angkat?
Bukankah aku ini anaknya? Om Hardi tiba-tiba merangkulku. Tangannya
begitu hangat. Dia menerima kehadiranku disini.
"Kamu akan menjadi anak angkat kami, tidak perlu cemas kami akan
menyanyangimu seperti anak kami sendiri." Jelas lelaki paruh baya itu.
Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Aku memang akan
menjadi anak mereka, namun aku tidak diakui sebagai anak kandung dari
ibuku sendiri. Aku tak kuasa menahan tangisku. Kubiarkan air mataku
jatuh menetes membasahi pipiku. Aku menangis. Tak kusangka tiba-tiba
sepasang tangan kecil mengusap air mata di pipiku. itu tangan Eva.
"Sudah kakak jangan sedih, nanti kami ajak bermain di taman depan
rumah. Disana banyak sekali kupu-kupu. Kakak harus melihatnya!" cerita
Eve bersemangat. Aku hanya tersenyum memaksakan kebahagiaanku.
****
Aku sungguh menyayangi Ibu. Tak pernah sedikit pun aku terpikir bisa
bertemu dengannya dan menjadi salah satu bagian dari keluarga bahagia
ini. Namun salahkah aku bila aku sedikit berontak, dan mengungkapkan
rasa sayang yang teramat besar ini padanya? Ataukah itu hanya akan
menghancurkan semua yang telah indah tercipta diantara keluarga ini?
Pikiranku berputar cepat, membayangkan suatu hal yang terjadi jika aku
menuruti egoku. Siapapun tidak bisa menjamin dengan aku berkata terus
terang, semua akan tetap seperti ini. Sungguh, dalam hati ingin sekali
aku berkata pada ibu
"Ibu, sampai kapan kita harus bersandiwara? Sampai kapan aku harus
memendam mimpiku untuk bisa bersandar di pelukanmu? Atau mungkin inilah
cara agar kita berdua bahagia, aku menyayangimu Ibu, tapi mengapa ini
begitu menyakitkan?" bisikku dalam batin.
Sejenak suasana di mobil terasa hening. Aku tak menjawab sepatah kata
pun. Kepalaku terunduk layu dan mulutku bungkam membisu. Tidak ada
seorang pun yang berada di mobil itu tahu perasaanku. Hanya aku dan
Tuhan yang tahu.
Tunggu, Ibu menolehkan kepalanya padaku, terlihat linangan air mata
di sudut mata indah itu. Sepertinya dia tahu, tatapannya begitu dalam
dan lembut membawa iba. Seakan-akan tatapan itu berbicara "Tunggulah
saatnya, Nak. Tetaplah disini bersama Ibu". Aku hanya menganggukan
kepala mencoba menguatkan diri. Ya, mungkin sementara akan seperti ini
tegasku pada diri sendiri.
Comments
Post a Comment