 |
Photo by pinterest.com |
Oleh : Fransisca Indri
Sudah sejak lama pena
ini terdiam, sekata pun tiada ditulisnya. Kertas ini pun sama. Masih
terisi dengan coretan-coretan lama yang tidak terbaca sama sekali. Hanya
tinta hitam yang penuhi halamannya. Sudah lama aku menetap di halaman
ini, hampir dua tahun lamanya.
***
"Tanggal berapa saat
ini?" seseorang bertanya. "Sebelas,Tuan" jawabku. "Angkat kepalamu itu,
segera siapkan pena dan kertasmu, kita akan melakukan ekspedisi besar di
tahun ini." Bisik seseorang di telingaku sebelah kanan. Aku bergegas
menyiapkan semua alat perangku. Sepatuku segera kutali kencang
menandakan aku telah siap melakukan ekspedisi ini. "Ikat kuda saja
rambutmu yang terurai itu!" perintah suara itu. "Baik, Tuan" jawabku
mengiyakan namun sebenarnya aku ragu. Aku ragu membiarkan rambutku
terikat sementara wajahku merendahkan dirinya sendiri. "Angkat
kepalamu!" seseorang kembali berbisik di telinga kananku. Kucari asal
suara itu, namun tak ada satu pun seseorang disana.
Sejam sudah tak ada
pergerakan pasukan,aku menunggu sesuatu yang diperintahkan untuk
melakukan petualangan ini. Tuanku datang dan berkata,"Kerjakan saja
pekerjaanmu, gunakan pena bertinta hitam itu dan tulislah di halaman
berikutnya. Apa yang kamu tunggu?" Aku hanya diam sembari melihat
secarik kertas di atas meja belajarku. Kertas yang sama dan telah berada
disini sejak dua tahun lalu. Kutatap kosong tak berkesan.
Berjam-jam berlalu dan
aku hanya terdiam menatap lembaran itu. Aku semakin tidak sabar menunggu
perintah selanjutnya. "Bagaimana dengan petualangannya, Tuan?" tanyaku
mendesak."petualangan apa yang kamu maksud? Kerjakan apa yang bisa kamu
lakukan, jangan biarkan halaman itu menjadi halaman terakhir yang bisa
kamu tulis!" tegasnya lagi. Aku semakin tidak mengerti saja dengan apa
yang diinginkannya. Berkali-kali dia memerintahkanku untuk membalik
halaman ini, dan mulai menulis sesuatu yang baru. Tapi apa yang harus
aku tulis? Lalu bagaimana dengan petualangan itu? bagaimana dengan tali
sepatu yang sudah kutali kencang? Bagaimana dengan rambutku yang sudah
kuikat kuda ini? Atau bagaimana dengan semua alat perang yang sudah aku
siapkan?
Sejenak aku terdiam dan
coba meresapi jalan pikiranku sendiri. Aku tahu apa yang harus segera
kulakukan. Aku hanya diperintah untuk membalik halaman ini, dan menulis
sesuatu yang baru, lalu melakukan ekspedisi besar. Aku tahu itu semua.
Hanya saja apa yang bisa aku mulai? Sudah dua tahun aku menggenggam pena
ini untuk mencoba menulis sesuatu yang berbeda.
"Hei, apa yang kamu
pikirkan! Segera tulis halaman kosong itu. bagaimana aku harus
mengatakannya padamu, aku memerintahkan kamu membalikan halaman itu dan
membuka halaman yang baru, kenapa kamu biarkan semuanya berjalan pada
halaman yang sama? Mental pecundang!" ucapnya lagi, kali ini membuatku
kesal. Tuanku akalku. Akalku tuanku. Tapi siapa sebenarrnya yang
mempersulit ini? Apakah dia disana? Lalu siapa aku sekarang baginya?
Aku mencoba mengikuti
perkataan tuanku, namun amarah ini menjadi sangat tidak terkendali.
Tanganku bergetar hebat seakan ikut tersulut emosi. Getarannya semakin
kuat menciptakan goresan-goresan hitam lain di halaman berikutnya. Tak
ada tempat sedikitpun untuk menuliskan kata yang indah, bahkan goresan
itu menjadi semakin tebal menutupi seluruh halaman kertas. Aku naik
darah. Aku tak tahan, aku berdiri mendobrak meja belajarku menatap tajam
tuanku dan berkata "Sekarang lihatlah ini! Aku telah menuliskan sesuatu
di halaman yang baru, bisakah Engkau lihat hasilnya,Tuan! Sama seperti
sebelumnya! Dan sekarang apa bedanya dengan tulisan yang aku pandang
selama dua tahun itu? Apa!" mendengar itu tuanku diam. Aku rasa dia tak
lagi berani memarahiku. Kali ini tidak ada yang bisa dia perintahkan
untuk menunjukan jalan keluar yang menurutnya hanya sekedar menuliskan
cerita baru di kertas berbeda. "Ini tuan, yang hatiku sedang rasakan"
ucapku pelan diujung pertikaian. "Hati? itu yang salah dari dirimu,
periksa itu dan mulai menulis kembali." ucapnya lalu pergi.
*****
Hari demi hari berlalu
dan hari ini masih sama seperti sebelumnya. Aku hanya memandangi kertas
kosong tanpa menulis apapun diatasnya. Sekata pun tidak berhasil aku
ungkapkan. Seperti ada yang hilang dan harusnya ada disaat sepeti ini.
Halaman yang sebelumnya yang sudah kutulis seakan tamat. Tak ada yang
bisa aku lakukan selain meratapi semua ini. Pena ini telah membawaku
jauh terjatuh sejatuh-jatuhnya. Semenjak aku kehilangan tuanku. Saat
itu pula aku kehilangan akalku. Realita yang tercipta dari tiap
ucapannya menjadi kekuatan dalam setiap goresan yang seharusnya indah
kucipta.
Gelisah. Bingung.
Terjebak rasanya. Untuk apa aku berdiam diri di halaman yang sama dan
mengikuti hatiku yang terkadang tidak selalu benar. Semua yang terlewati
seakan tiada berarti. Sebab, kemungkinan yang terjadi adalah ketika
ujung pena ini dengan sengaja menusuk kertas hingga berlubang, seperti
itulah yang dibuatnya. Bahkan goresan tintanya semakin tebal saja.
"Pena apa yang kamu
gunakan?" seseorang berbisik di telinga kananku. "Siapa itu!" tegurku.
Suara itu menghilang lagi. Aku tahu suara ini mengikuti. Entah siapa
dia, dan darimana asalnya aku paham sekarang, suara itu yang menciptakan petualangan ini, membuatku bertaruh dengan akalku sendiri. "Pena apa yang
kamu gunakan?" Suara itu muncul lagi, namun kali ini tidak hilang.
"Pena kesebelas" jawabku. Tiba-tiba dia tertawa. Apa lagi ini? Dia
menertawaiku?
Pena itu
masih tergeletak di meja. Merasa jengkel dengan pena itu, aku
mengambilnya dan hendak kulemparkan ke dalam tempat sampah yang berada
di bawah kaki meja belajarku. "Apa yang kamu lakukan? Gunakan saja pena
itu. biarkan warnanya mempertegas tulisanmu" bisik suara itu, sontak
membuatku kaget. "Apa maksudmu?" , "Gunakan saja, ambillah penamu yang
lain. bukankah tersedia banyak perlengkapan perangmu untuk yang kamu sebut petualangan
ini?", "Ya?" jawabku singkat. "Pergunakanlah alat perangmu, biarkan pena
yang lain turut bekerja, sekarang coba ambil pena-penamu dan beri
cerita yang luar biasa di atas kertas itu" jelasnya lagi.
Memang ada
ratusan pena dengan tinta berbeda yang aku punya. Aku bisa mengunakannya
setiap saat tapi tidak dua tahun belakangan ini. Aku mulai paham.
Kubuka perkakas tua yang telah kusimpan sejak lama. Kulihat disana
sekelompok pena telah rindu untuk dijamah. Kuambil semua warna yang aku
suka. Kubiarkan pena-pena itu menari diatas kertas kosong yang saat ini
tergeletak di depanku. Lihat sekarang! kertas itu menjadi berwarna.
Cantik sekali. Oh, Tidak. Mungkin belum. Aku butuh warna hitam. Ya
sedikit saja, biarkan hitam tetap ada mempertegas garis-garis kehidupan.
Nampaknya, pena ini tidak memberikan perlawanan. Sungguh indah yang
tercipta sekarang. Seharusnya tuanku berada disini, namun sirna sudah
wujudnya. "Dia ada disini sekarang" bisik suara itu. "Dia ada disini
sejak kamu mulai membuka perkakas tua itu" jelasnya lagi. Lalu
menghilang.
Comments
Post a Comment