Robot Kematian

Image
Robot ini Diciptakan Untuk Memimpin Upacara Pemakaman. Ih Ngeri! By : Fransisca Wahyu Indri  Jepang adalah negara yang selalu menghebohkan dunia dengan penemuan dan inovasi terbarunya. Perkembangan yang berkaitan dengan penciptaan teknoogi robot humanoid (robot yang mirip manusia) menjadi andalan bagi negara ini untuk unjuk gigi di era yang serba canggih ini.   Sumber gambar: in.reuters.com Nah, bagaimana jadinya jika upacara pemakaman seseorang dipimpin oleh sebuah robot? Dilansir dari in.reuters.com   inovasi terbaru telah diciptakan oleh sebuah perusahaan di jepang. Softbank berhasil menciptakan sebuah robot humanoid SoftBank “PEPPER” untuk menggantikan peran pelayanan pendeta Budha dalam upacara pemakaman.   Sumber gambar: in.reuters.com Memang sampai saat ini pepper belum digunakan untuk memimpin sebuah upacara pemakaman. Namun Robot “Pepper” di program untuk dapat mampu memukul gong dan membacakan sutra atau ch...

Pena Kesebelas

Photo by pinterest.com

Oleh : Fransisca Indri

Sudah sejak lama pena ini terdiam, sekata pun tiada ditulisnya. Kertas ini pun sama. Masih terisi dengan coretan-coretan lama yang tidak terbaca sama sekali. Hanya tinta hitam yang penuhi halamannya. Sudah lama aku menetap di halaman ini, hampir dua tahun lamanya.

***

"Tanggal berapa saat ini?" seseorang bertanya. "Sebelas,Tuan" jawabku. "Angkat kepalamu itu, segera siapkan pena dan kertasmu, kita akan melakukan ekspedisi besar di tahun ini." Bisik seseorang di telingaku sebelah kanan. Aku bergegas menyiapkan semua alat perangku. Sepatuku segera kutali kencang menandakan aku telah siap melakukan ekspedisi ini. "Ikat kuda saja rambutmu yang terurai itu!" perintah suara itu. "Baik, Tuan" jawabku mengiyakan namun sebenarnya aku ragu. Aku ragu membiarkan rambutku terikat sementara wajahku merendahkan dirinya sendiri. "Angkat kepalamu!" seseorang kembali berbisik di telinga kananku. Kucari asal suara itu, namun tak ada satu pun seseorang disana. 

Sejam sudah tak ada pergerakan pasukan,aku menunggu sesuatu yang diperintahkan untuk melakukan petualangan ini. Tuanku datang dan berkata,"Kerjakan saja pekerjaanmu, gunakan pena bertinta hitam itu dan tulislah di halaman berikutnya. Apa yang kamu tunggu?" Aku hanya diam sembari melihat secarik kertas di atas meja belajarku. Kertas yang sama dan telah berada disini sejak dua tahun lalu. Kutatap kosong tak berkesan. 

Berjam-jam berlalu dan aku hanya terdiam menatap lembaran itu. Aku semakin tidak sabar menunggu perintah selanjutnya. "Bagaimana dengan petualangannya, Tuan?" tanyaku mendesak."petualangan apa yang kamu maksud? Kerjakan apa yang bisa kamu lakukan, jangan biarkan halaman itu menjadi halaman terakhir yang bisa kamu tulis!" tegasnya lagi. Aku semakin tidak mengerti saja dengan apa yang diinginkannya. Berkali-kali dia memerintahkanku untuk membalik halaman ini, dan mulai menulis sesuatu yang baru. Tapi apa yang harus aku tulis? Lalu bagaimana dengan petualangan itu? bagaimana dengan tali sepatu yang sudah kutali kencang? Bagaimana dengan rambutku yang sudah kuikat kuda ini? Atau bagaimana dengan semua alat perang yang sudah aku siapkan? 

Sejenak aku terdiam dan coba meresapi jalan pikiranku sendiri. Aku tahu apa yang harus segera kulakukan. Aku hanya diperintah untuk membalik halaman ini, dan menulis sesuatu yang baru, lalu melakukan ekspedisi besar. Aku tahu itu semua. Hanya saja apa yang bisa aku mulai? Sudah dua tahun aku menggenggam pena ini untuk mencoba menulis sesuatu yang berbeda.

 "Hei, apa yang kamu pikirkan! Segera tulis halaman kosong itu. bagaimana aku harus mengatakannya padamu, aku memerintahkan kamu membalikan halaman itu dan membuka halaman yang baru, kenapa kamu biarkan semuanya berjalan pada halaman yang sama? Mental pecundang!" ucapnya lagi, kali ini membuatku kesal. Tuanku akalku. Akalku tuanku. Tapi siapa sebenarrnya yang mempersulit ini? Apakah dia disana? Lalu siapa aku sekarang baginya?

 Aku mencoba mengikuti perkataan tuanku, namun amarah ini menjadi sangat tidak terkendali. Tanganku bergetar hebat seakan ikut tersulut emosi. Getarannya semakin kuat menciptakan goresan-goresan hitam lain di halaman berikutnya. Tak ada tempat sedikitpun untuk menuliskan kata yang indah, bahkan goresan itu menjadi semakin tebal menutupi seluruh halaman kertas. Aku naik darah. Aku tak tahan, aku berdiri mendobrak meja belajarku menatap tajam tuanku dan berkata "Sekarang lihatlah ini! Aku telah menuliskan sesuatu di halaman yang baru, bisakah Engkau lihat hasilnya,Tuan! Sama seperti sebelumnya! Dan sekarang apa bedanya dengan tulisan yang aku pandang selama dua tahun itu? Apa!" mendengar itu tuanku diam. Aku rasa dia tak lagi berani memarahiku. Kali ini tidak ada yang bisa dia perintahkan untuk menunjukan jalan keluar yang menurutnya hanya sekedar menuliskan cerita baru di kertas berbeda. "Ini tuan, yang hatiku sedang rasakan" ucapku pelan diujung pertikaian. "Hati? itu yang salah dari dirimu, periksa itu dan mulai menulis kembali." ucapnya lalu pergi.

*****

Hari demi hari berlalu dan hari ini masih sama seperti sebelumnya. Aku hanya memandangi kertas kosong tanpa menulis apapun diatasnya. Sekata pun tidak berhasil aku ungkapkan. Seperti ada yang hilang dan harusnya ada disaat sepeti ini. Halaman yang sebelumnya yang sudah kutulis seakan tamat. Tak ada yang bisa aku lakukan selain meratapi semua ini. Pena ini telah membawaku jauh terjatuh sejatuh-jatuhnya. Semenjak aku kehilangan tuanku. Saat itu pula aku kehilangan akalku. Realita yang tercipta dari tiap ucapannya menjadi kekuatan dalam setiap goresan yang seharusnya indah kucipta.

Gelisah. Bingung. Terjebak rasanya. Untuk apa aku berdiam diri di halaman yang sama dan mengikuti hatiku yang terkadang tidak selalu benar. Semua yang terlewati seakan tiada berarti. Sebab, kemungkinan yang terjadi adalah ketika ujung pena ini dengan sengaja menusuk kertas hingga berlubang, seperti itulah yang dibuatnya. Bahkan goresan tintanya semakin tebal saja.

"Pena apa yang kamu gunakan?" seseorang berbisik di telinga kananku. "Siapa itu!" tegurku. Suara itu menghilang lagi. Aku tahu suara ini mengikuti. Entah siapa dia, dan darimana asalnya aku paham sekarang, suara itu yang menciptakan petualangan ini, membuatku bertaruh dengan akalku sendiri. "Pena apa yang kamu gunakan?" Suara itu muncul lagi, namun kali ini tidak hilang. "Pena kesebelas" jawabku. Tiba-tiba dia tertawa. Apa lagi ini? Dia menertawaiku?

Pena itu masih tergeletak di meja. Merasa jengkel dengan pena itu, aku mengambilnya dan hendak kulemparkan ke dalam tempat sampah yang berada di bawah kaki meja belajarku. "Apa yang kamu lakukan? Gunakan saja pena itu. biarkan warnanya mempertegas tulisanmu" bisik suara itu, sontak membuatku kaget. "Apa maksudmu?" , "Gunakan saja, ambillah penamu yang lain. bukankah tersedia banyak perlengkapan perangmu untuk yang kamu sebut petualangan ini?", "Ya?" jawabku singkat. "Pergunakanlah alat perangmu, biarkan pena yang lain turut bekerja, sekarang coba ambil pena-penamu dan beri cerita yang luar biasa di atas kertas itu" jelasnya lagi.

Memang ada ratusan pena dengan tinta berbeda yang aku punya. Aku bisa mengunakannya setiap saat tapi tidak dua tahun belakangan ini. Aku mulai paham. Kubuka perkakas tua yang telah kusimpan sejak lama. Kulihat disana sekelompok pena telah rindu untuk dijamah. Kuambil semua warna yang aku suka. Kubiarkan pena-pena itu menari diatas kertas kosong yang saat ini tergeletak di depanku. Lihat sekarang! kertas itu menjadi berwarna. Cantik sekali. Oh, Tidak. Mungkin belum. Aku butuh warna hitam. Ya sedikit saja, biarkan hitam tetap ada mempertegas garis-garis kehidupan. Nampaknya, pena ini tidak memberikan perlawanan. Sungguh indah yang tercipta sekarang. Seharusnya tuanku berada disini, namun sirna sudah wujudnya. "Dia ada disini sekarang" bisik suara itu. "Dia ada disini sejak kamu mulai membuka perkakas tua itu" jelasnya lagi. Lalu menghilang.

Comments

Popular posts from this blog

Robot Kematian

Hujan di Luar Jendela

Teh Melati Reska (Restoran Kereta)